POTRET DEMOKRASI ( Sebuah Refleksi )

By; Patje Saubaki

Proses berdemokrasi dalam subtansinya dapat juga dipahami sebagai dialog yang terbuka dan fair sebagai manifestasi terbukanya ruang partisipasi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan yang sah. Pemahamam ini penting guna menghindari model demokrasi prosedural yang sering memposisikan rakyat sebagai obyek dan alat legitimasi terhadap lahirnya suatu produk kebijakan. Yang dimaksud dengan demokrasi prosedural adalah berputarnya sebuah gagasan/ide sampai menjadi keputusan publik hanya dilembaga demokrasi formal ( eksekutif, legislative dan Yudikatif ), dan tidak memberikan ruang bagi partisipasi rakyat secara terbuka dalam dialog-dialog yang interaktif dan jujur, dan dampak atau konsekwensi dari demokrasi prosedural yakni menempatkan masyarakat hanya sebagai yang pasif atas sinetron politik nasional dan local. salah contohnya adalah, dalam konteks Nusa Tenggara Timur/NTT misalnya ; dalam proses lahirnya suatu produk kebijakan seperti Perda jarang sekali melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses tersebut, hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pengingkaran dan penghianatan terhadap demokrasi, karena negara yang demokratis akan menempatkan rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti kekuasaan. sering didefinisikan sebagai “kekuasaan yang ada di tangan rakyat”. Dan adapula yang mendefinisikan, pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan kekuasaan rakyat, atau sebuah sistem pemerintahan di mana rakyat memegang otoritas tertinggi, dan dalam demokrasi ini memiliki prinsip atau nilai –nilai sebagai “ rambu – rambu “ dalam sebuah kehidupan bernegara. Nilai – nilai tersebut antara lain : Keterbukaan/transparansi, toleransi, partisipasi, independen, egaliter, solidaritas, keadilan jender, dll.

Pada umumnya orang-orang mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar demokrasi sebagai suatu dasar atau alas yang harus dipenuhi dalam rangka pencapaian suatu kehidupan yang lebih demokratis. Prinsip-prinsip ini biasanya dicantumkan dalam kesepakatan-kesepakatan, Kebijakan atau aturan-aturan adat pada suatu komunitas yang demokratis.
Realitas kehidupan bangsa ini yang dilagukan sebagai negara demokrasi dapat kita saksikan ternyata melalui dinamika politik dari masa kemasa, dari rejim Soeharto sampai saat ini, ternyata tidak cukup memberikan perubahan sikap negara terhadap masyarakat secara signifikan. Posisi rakyat sebagai warga negara tetap tidak dipandang sebagai pemilik mandat yang sah atas negara. Rakyat hanya diciptakan sebagai elemen legitimasi formal tampa keterlibatan aktif dalam kerja-kerja pengambilan kebijakan publik.
Dalam konteks hubungan seperti ini sangat sulit diharapkan negara serius melakukan pendidikan hak-hak sipil ( kewarganegaraan ) guna membangun kesadaran kritis masyarakat, sebaliknya pendidikan dijadikan negara sebagai media hegemoni kepentingan negara atas masyarakat dan pendidikan juga menjadi praktek kebohongan publik yang halus dan sistimatis atas hak-hak politik dan sipil warga negara. ( contoh kasus; pelajaran PSPB dan P4 yang telah digugat keberadaanya sehingga telah dihapus dari kurikulum nasional).
Untuk itu perlu ada gerakan perubahan yang mampu mengerakan kesadaran kritis dan meningkatkan prilaku –prilaku demokratis masyarakat. Gerakan ini dapat dilakukan oleh kita secara bersama – sama baik secara lembaga maupun individu, melalui diskusi – diskusi yang demokratis bersama masyarakat dalam menggali dan mencari jalan keluar atas persoalan yang tengah mereka hadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar