KORUPSI DAN STRATEGI ADVOKASI BELAJAR DARI PENGALAMAN ADVOKASI RAKYAT

S. Lery Mboeik – PIAR

PENGANTAR :

Korupsi merupakan salah satu masalah paling besar di negara berkembang, dan masalah itu semakin menarik perhatian begitu kita masuki dekade terakhir ini. Hampir di seluruh dunia korupsi makin lama makin menjadi biang keladi dalam pemberontakan rakyat.

Dalam pemerintahan Presiden Nigeria Shehu Shagari ditahun 1982, Ia mengatakan bahwa adalah soal kemerosotan akhlak dinegeri kami karena ada masalah, suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran dan segala cacat semacam itu. Setahun kemudian, pemerintah sipilnya digulingkan oleh suatu kudeta militer dimana jenderal-jenderal membenarkan diri dengan alasan perlunya pengendalian korupsi. Kekesalan tersebut akhirnya Rezim Shagari mencanangkan suatu “revolusi etis” untuk melawan korupsi dengan mencantumkan suatu kode tingkah laku bagi pegawai negeri dalam UUD Negeria tahun 1979.

Pengalaman Nigeria sebenarnya tidak bedanya dengan pengalaman Indonesis saat reformasi hingga sekarang, yang telah menciptakan berbagai instrumen hukum, institusi kontrol tapi apa yang kita lihat dan rasakan? Resim yang terkebelakang mengkampanyekan bahwa korupsi dan ketidakjujuran tidak akan dibiarkan lagi. Kampanye ini cukup sukses terutama janji-janji untuk melawan korupsi pada era pasca Soeharto. Kenyataan yang kita dapat dari kampanye tersebut adalah segala aturan diciptakan masih sama seperti semula dengan memberikan banyak celah yang dimungkinkan untuk melakukan korupsi. Undang-undang peraturan dibuat hanya untuk menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Dalam berbagai kasus advokasi NGO, disebut bahwa indikasi KKN lebih banyak dipraktekan oleh penguasa dan pengusaha. Bahkan lembaga-lembaga kontrol yang dipercayai rakyat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja penyelenggara negarapun terjebak dengan tanpa beban melakukan KKN secara sadar.

Robert Klitgard dalam buku membasmi korupsi mengatakan bahwa “pilar penyelenggaraan negara yakni para pembuat kebijakan dan politisi sendiri, tidak ingin mengatasi korupsi”. Boleh jadi mereka menggunakan kegiatan-kegiatan tidak halal untuk untuk mempertahankan status quo kekuasaan meskipun harus mengorbankan para pemberi mandat. Tentu saja korupsi mempunyai segi-segi menguntungkan bagi yang berkuasa, bukan saja sebagai sarana untuk menggembungkan kantong tetapi sebagai mekansime bagi penyelesaian politik, membina jalin relasi dan bahkan partisipasi politik.


PIAR DAN PENGALAMAN ADVOKASI KORUPSI :

“KITA BERHAK TAHU”, Kita berhak mendapatkan informasi, memberikan pendapat, mengambil keputusan dan melakukan pemantauan/pengawasan terhadap: program-program pembangunan yang dikelola pemerintah dan bukan pemerintah.

Tahun 2000 PIAR bekerjasama dengan ICW mengadakan sebuah lokakarya dan seminar tentang anti korupsi. Dasar pertimbangan kegiatan ini dilakukan adalah berangkat dari program JPS dan pengucuran dana-dana pembangunan yang tidak transparan. Kesaksian yang dilakukan warga bahkan kampanye yang kami lancarkan tidak cukup untuk membuka mata hati para penyelenggara negara. Tujuan kegiatan tersebut untuk memberikan penyadaran bagi rakyat tentang pentingnya anti korupsi yang dibantu dengan analisis dari berbagai aspek. Persoalan yang dimunculkan waktu itu adalah, seberapa parakah tingkat korupsi yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Disepakati waktu itu bahwa korupsi terjadi sejak pemerintah mengumpulkan dana-dana dari rakyat (pajak, iuran, retribusi dsb) sebagai penerimaan negara hingga pada saat dana-dana tersebut direalisasikan sebagai anggaran-anggaran pembangunan.

Dalam buku mencabut akar korupsi, dikatakan bahwa korupsi di Indonesia diperkirakan mencapai sebesar 30 % . Bahkan persepsi dari sebagian masyarakat mencapai hingga 50 % dari seluruh dana-dana yang dikumpulkan dari rakyat.

Pernyataan tersebut sebenarnya ingin menegaskan bahwa dari sudut kualitasnya, korupsi di Indonesia sudah berupa sistemik. Artinya korupsi telah dilakukan disemua lembaga negara dari tingkatan paling rendah hingga paling tinggi hingga disemua sektor termasuk pada lembaga hukum yang seharusnya menegakan hukum ternyata justru menjadi mafia hukum ( bisa kita kutip pernyataan Presiden Megawati beberapa waktu lalu)

Korupsi sistemik bersifat terorganisir dan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat, sehingga sulit dihindari bahkan cenderung diterima sebagai kenyataan yang wajar..Hasil survey lembaga independen PERC (Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2000 Indonesia masih menjadi negara paling korup di Asia dengan mendapat nilai 9,88 pada skala 0 – 10.

Pada era sekarang ini, lembaga-lembaga kontrol yang diharapkan dapat mengatasi persoalan ini justru terjebak dan secara sadar melakukan tindakan tersebut dengan bertopeng pada berbagai produk hukum dan kebijakan. Banyak orang mengatakan bahwa korupsi adalah budaya masyarakat. Sebenarnya tidak. Korupsi adalah budaya kekuasaan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki kekuasaan dibirokrasi pemerintahan dan pelaku swasta. Tesis tersebut dapat dibenarkan dengan melihat pada era otonomi sekarang ini.

Desentralisasi yang merupakan sebuah prinsip pengaturan kekuasaan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Prinsip ini dibangun di atas filsafat tentang distribusi kekuasaan yang sudah menjadi perhatian filsuf politik sejak lama. Ia melibatkan adagium bahwa "pada prinsipnya kekuasaan harus disebarkan". Pertanyaan yang menjadi pergulatan para filsuf, ilmuwan dan praktisi sejak dulu hingga kini adalah mengapa dan bagaimana kekuasaan disebarkan? Sebenarnya, secara negatif desentralisasi dimaksudkan sebagai sistem untuk mencegah penyalahgunaan yang sangat potensial terjadi karena pemusatan kekuasaan. Secara positif dimaksudkan sebagai sistem untuk menjamin terwujudnya demokrasi.

Karena kekuasaan, terlepas dari besar dan kecil, dan dari siapapun yang menguasainya memiliki potensi untuk disalahgunakan. "Power tends to corrupt. Absulute power corrupt absolutely". Inilah salah satu alasan filsafati di balik prinsip penyebaran kekuasaan. Karena itu, kekuasaan tidak boleh dipusatkan di salah satu tangan, lembaga, daerah, ataupun kelompok orang.


MENGAPA KORUPSI SULIT DIBERANTAS?


Korupsi adalah budaya kekuasaan bukan budaya masyarakat. Pendapat tersebut ada benarnya jika kita tarik pada era otonomi sekarang ini. Analisis PIAR pada kliping media-media masa di Nusa Tenggara Timur, KKN ini terjadi diberbagai tempat dan berbagai ruang. Lihat saja pengadaan mobil-mobil mewah disaat banyak rakyat berteriak lapar, APBD yang tak pro rakyat malahan korupsi dibuat bertopengkan perda, beras-beras OPK yang bermasalah (padahal dana-dana ULN), rumponisasi di Belu, pengadaan scaner dan masih banyak lagi kasus-kasus KKN.

Data kliping PIAR sejak tahun 2001 hingga sekarang ini menemukan bahwa, tingkat indikasi korupsi di Nusa Tenggara Timur makin meningkat dan terjadi diberbagai sektor. Ini menandakan bahwa desentralisasi adalah bukan saja memindahkan locus kekuasaan dari pusat kedaerah tapi sekaligus memberikan peluang terjadinya korupsi

Harian Pos Kupang, beberapa waktu lalu memberitahukan bahwa anggaran APBD untuk pos DPRD adalah sudah sesuai dengan peraturan pemerintah No. 110 tahun 2000. Padahal temuan JALUR adalah terjadi mark up dana APBD yang sangat melanggar PP 110 tahun 2000. Tragisnya lagi, temuan itu ditanggapi dengan pernyataan “ Kami tidak mengenal revisi tapi perubahan” dan membuat statement politik “kacihan dech lu”

Ilustrasi tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kesungguhan pemerintah dalam memberantas KKN. Pernyataan para elit di DPRD seolah-olah menegaskan bahwa adanya korupsi yang terlembagakan, dan korupsi yang dimainkan mereka memakai cover kebijakan publik (resmi), sementara kasus-kasus korupsi yang ada ditangani secara tak memuaskan menimbulkan kesan bahwa penanganan itu sekedar kosmetika politik.

Dari pengalaman PIAR menemukan beberapa hal yang teridentifikasi merupakan kesulitan pemberantasan korupsi antara lain :
1. Kurangnya Partisipasi Masyarakat baik itu masyarakat korban, media massa, instusi kontrol Masyarakat tidak perduli terjadi korupsi atau tidak padahal yang paling dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Misalnya pembangunan jalan didesa, masyarakat jarang yang tahu berapa anggaran pembangunan dan kualitas jalan yang akan dibangun. Akibatnya masyarakat tidak tahu bahwa jalan yang seharusnya bisa dimanfaatkan selama 5 tahun ternyata hanya efektif 1 tahun
2. Peraturan perundangan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak memadai, contoh UU perlindungan saksi dan korban
3. Tidak berdayanya institusi peradilan
4. Tidak transparansinya informasi dari berbagai pihak
5. Tidak adanya strategi nasional yang jelas karena tidak adanya kemauan politik
6. Hubungan patronase dan kekerabatan yang cukup kuat

BAGAIMANA KKN DIMINIMALKAN :

Pertanyaan ini sukar dijawab tapi dapat diusahakan mengingat Nusa Tenggara Timur yang adalah daerah miskin dengan memiliki human property index yang tinggi, human development yang rendah serta PDRB yang rendah bukan hal yang mudah.
Untuk itu berdasarkan pengalaman ada 4 langkah yang PIAR lakukan :
1. Tunjukan integritas pribadi dan lembaga, independen, keterbukaan, Objectivitas, Kejujuran, Kepemimpinan dan Kerahasiaan
2. Dokumentasi berbagai produk hukum dan kebijakan
3. Investigasi lapangan :Menentukan sasaran, identifikasi pelanggaran, Identifikasi pelaku utama
4. Melakukan analisis kebijakan dan Hukum dengan menghubungan kelembagaan yang mengelola
5. Membangun aliansi dengan media, institusi agama, institusi adat, Institusi peradilan, NGO dan masyarakat sipil yang peduli terhadap anti korupsi baik di tingkat lokal, regional maupun nasional
6. Kampanye hasil temuan
7. Pendidikan politik bagi rakyat tentang anti korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar