Quo Vadis Rote Ndao

Tanggal 13 oktober menjadi momentum pertama bagi masyarakat Rote Ndao dalam menentukan sendiri kemana kabupaten Rote Ndao ini akan diarahkan. Ibarat kapal yang sedang berlayar, maka tanggal 13 nanti para penumpang diberi kebebasan untuk menentukan kapten. Kalau dulunya, penumpang hanya duduk diam menanti keputusan dewan kapal yang bersidang mencari kapten, kini masyarakat diberikan kewenangan untuk memilih.
Dapatkah masyarakat memilih kapten yang bersih, bebas dari money politic di dewan kapal seperti pada proses dulu-dulunya? Pilihan yang jujur dan bebas dari intervensi primordial, uang dll akan mampu memberi arah yang jelas bagi perjalanan kapal Rote Ndao. Lantas ukuran apa yang dapat dipakai masyarakat untuk menentukan pilihan pada kapten yang baik yang harus mereka pilih agar kapal tidak karam di dasar laut? Barangkali pengalaman orang rote dalam mengarungi selat Puku Afu dapat dijadikan salah satu bahan refleksi.

Pengalaman Puku Afu
Setiap hari ratusan orang rote berpergian dengan menggunakan jasa penyeberangan laut. Berbagai kondisi laut telah dirasakan, baik laut yang tenang, berombak maupun badai yang dapat mengancam jiwanya. Di saat laut tenang tidak ada komentar yang terucap. Yang ada cuma tegur sapa penumpang ataupun juga basa basi pemuda dalam rangka menarik hati pemudi yang baru dikenalnya di atas kapal. Di saat laut mulai bergelombang, ungkapan mulai beragam yang intinya mau mengungkapkan bahwa Puku Afu (Rote : Bermandikan Abu) memang laut yang ganas.
Pada saat mulai badai, riuh rendah suara penumpang terdengar. Semuanya bermuara pada suatu koor yang merdu dan lantang ‘Tuhan Tolong, Allahhu Akbhar”, tanpa terpikirpun bahwa kapten sementara berjuang melewati ganasnya badai. Namun setelah badai berlalu, tidak ada satupun yang mengungkapkan: “Terima kasih Tuhan, Alhamdulilah”. Yang ada hanya ungkapan: “tadi hampir tenggelam, tapi kaptennya hebat sehingga kapal tidak jadi tenggelam”. Tidak ada satupun refleksi bahwa Tuhan telah memampukan kapten untuk keluar dari bahaya tersebut.
Belajar dari alegori di atas, kabupaten Rote Ndao bukanlah kapal megah dan kuat seperti kapal pesiar Awani Dream yang dapat melewati badai tanpa terasa badainya. Rote Ndao bukan juga kapal Bahari Express yang mampu melewati puku afu dalam waktu 15 menit. Kapal Rote Ndao hanyalah sebuah lete-lete (perahu kayu) yang sementara berjuang melewati puku afu untuk tiba di daratan nusa lote fua funi. Untuk itu, kemampuan kaptennya sangat dibutuhkan selain meminta kepada Sang Maha Kuasa untuk melindungi penumpang lete-lete Rote Ndao.

Badai yang Merongrong Kapal Rote Ndao (sebuah cerita).
Sebagai lete-lete, badai yang dihadapi kabupaten Rote Ndao sangat kompleks dan berat. Dengan harga lete-lete yang cuma Rp 200 milyar lebih (APBD Rote Ndao), kapten kapal (bupati) diharuskan untuk membawa lete-lete ini menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun sayangnya kapten lete-lete ini tidak mampu untuk menerjang badai korupsi, kolusi dan nepotisme. Akibatnya lete-lete bersiap untuk karam.
Penumpang mulai panik. Anggaran kapal yang sudah kecil, mengalami kebocoran di berbagai sektor-sektor. Kapal mulai oleng karena kemiskinan dan busung lapar. Pada awal perjalanan, lete-lete hanya memuat 60% lebih penumpang miskin, ditengah terjangan puku afu, penumpang miskin bertambah menjadi 80% lebih (tepatnya 82,32%). Ketika penumpang berseru kepada pemimpin untuk menyelamatkan mereka, sang nakoda hanya menyerukan tahanlah dan berjuanglah trus.
Di lain pihak, para ABK mulai mempergunakan kesempatan untuk memperkaya diri. Dengan isu kemiskinan, mereka meminta bantuan pada kapal lain yang lebih besar yakni pemerintah pusat dan dunia untuk membantu. Ketika bantuan tiba, banyak penumpang fiktif dimunculkan untuk mendapatkan bantuan tersebut, tetapi lagi-lagi yang mendapatkan itu adalah ABK dan keluarga serta kroninya. Penumpang yang namanya dijual tetap terpuruk.
Para ABK dengan alasan studi banding di kapal lain ataupun antar surat, telah mengalokasikan puluhan milyar uang untuk perjalanan dinas, tanpa sadar bahwa uang sedemikian besar lebih dibutuhkan oleh masyarakat yang sementara bergelut dengan dasyatnya badai kehidupan. Hasilnya adalah lebih banyak kapten dan ABK di kapal lain dibandingkan bergumul bersama masyarakat rote ndao sebagai penumpang lete-lete untuk keluar dari selat puku afu. Akhirnya jangan heran kalau ada isu di masyarakat bahwa para pejabat mempunyai rumah/kekayaan di segala tempat. Benar atau tidak itulah isu yang dibangun dari fakta banyaknya uang yang tidak jelas peruntukan dan pertanggungjawabannya (hasil laporan BPK).
Budaya konsumerisme kapten dan ABK ditunjukan tanpa malu-malu didepan masyarakat, tanpa sedikitpun terpikir bahwa penumpang yang adalah rakyat Rote Ndao sementara miris dengan sikap mereka yang tidak peduli pada masyarakat yang sehari hanya bisa minum gula hopo.
Penumpang lete-lete dibodohi dengan janji palsu yakni diangkat menjadi honor ABK, tanpa ada pembahasan dalam APBD padahal perundang-undangan mengatur bahwa pengangatan tenaga bantu (honoer) harus mempertimbangkan keuangan daerah. Artinya telah dibahas dalam APBD dan apakah APBD mampu untuk membiayainya atau tidak. Jangankan mempertimbangkan APBD, secara Arogan sang Kapten dan ABKnya merekrut tenaga honorer dan mengeluarkan SK tanpa menunggu pembahasan anggaran. Hasilnya penumpang yang namanya tercantum dalam SK honorer telah bekerja namun hingga sekarang tidak pernah mendapatkan upah dari kerjanya. Alasan yang klise dikemukakan sang kapten ialah belum sidang anggaran, atau anda harus pilih saya sebagai kapten kalau tidak anda akan dikeluarkan dari tenaga honor kalau kapten lain yang memimpin. Kasihan penumpang. Mereka sudah sudah seperti kisah dalam alkitab yakni pohon yang meminta perlindungan pada semak belukar.
Masih banyak lagi tindakan kapten yang bisa diceritakan dalam tulisan ini namun akan membuat para pendengar miris, marah dan sebagainya. Tapi ini bukan novel yang berupaya mempermainkan perasaan pembaca untuk melariskan novel. Ini hanya sebuah refleksi dari pengalaman penumpang lete-lete kabupaten Rote Ndao yang sedang berteriak minta tolong agar jangan tenggelam. Perlukah kapten ini dipertahankan? Seorang kapten yang ketika kapal hendak tenggelam malah membuat suatu kantor untuk kapten sebesar Rp 29 miliar lebih. Sebuah kantor megah dan membuat kagum orang karena kabupaten kecil ini berhasil membuat kantor yang begitu hebat dari segi pendanaannya?
Sudah seharusnya kapten kapal berubah pada kebijakan yang pro penumpang. Seorang kapten yang tidak mementingkan kroninya dan seorang kapten kapal yang tidak menaruh dendam kepada para ABK yang baik yang ingin perubahan dengan memberikan kritikan bagi sang kapten. Sudah seharusnya kapten memperhatikan jeritan hati masyarakat yang lagi bergumul dalam perasaan ketakutan, bukan dengan semakin menakuti mereka dengan bualan agar mereka memilihnya menjadi kapten. Kapten perlu hadir ditengah-tengah penumpang, berrefleksi terhadap perasaan penumpang yang berada di dek penumpang bagian bawah yang penuh dengan ketidakpastian. Penumpang butuh kapten yang tidak saja sebagai bos tetapi sebagai ayah yang melindungi dan menyayangi mereka.
Sudah semestinya sang kapten atau bupati turun dan belajar dari ketakutan penumpang agar dapat menyelamatkan lete-lete Rote Ndao yang dipimpinnya, karena itu sudah menjadi tugas dari kapten yang baik. Ini lebih baik dibanding sang kapten yang terus berada di kapal orang lain untuk sekedar studi banding ataupun nama lainnya yang intinya hanya sekedar plesir.
Sudah semestinya kapten sadar untuk menentukan ke mana arah lete-lete ini akan dibawah menerjang badai puku afu, dari pada masih bertanya Quo Vasis Rote Ndao ? (kemanakah Rote Ndao?). kalau tidak, GANTILAH KAPTEN ANDA SEBELUM LETE-LETE ANDA TENGGELAM...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar